Novel PIR Sensor-Based Activity Recognition pada Smart Lighting untuk Meningkatkan User Comfort
Smart lighting sudah ada di pasaran dan dari segi riset, umum nya tujuan smart lighting adalah untuk mendapatkan penghematan. Namun, kenyamanan pengguna atau user comfort dapat terganggu karena penghematan yang dihasilkan tidak sesuai dengan kualitas atau kebutuhan pencahayaan dasar manusia. Smart lighting adalah cara baru untuk menyalakan dan mematikan lampu di mana lampu LED terhubung dengan internet. Karena keterhubungan ini, user dapat mengendalikan lampu melalui aplikasi yang terdapat pada smartphone. Karena keterhubungan itu, lampu dapat juga terhubung dengan smart hub seperti Google Nest, sehingga lampu dapat dikendalikan dengan perintah suara. Fitur-fitur lain dari smart lighting adalah mengendalikan warna pada lampu, mengatur keredupan lampu, dan mengatur jadwal menyala dan mematikan lampu. Fig. 1 memperlihatkan ilustrasi smart lighting yang ada pada pasaran Arahan utama penelitian smart lighting saat ini adalah efficiency.
Perihal nya pada tahun 2005 dicetuskan lah Kyoto Protocol yang diikuti beberapa negara dunia yang menyatakan bahwa pemanasan global adalah hal yang serius dan efisiensi energi adalah suatu yang harus diutamakan. Efisiensi penerangan termasuk di dalam nya, karena beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa penerangan adalah 20 hingga 40% pemakaian energi listrik.
Dalam computer science sudah ada bagian ilmu yang mempelajari bagaimana medeteksi aktifitas manusia, nama nya activity recognition. Activity recognition mengambil data pergerakan manusia melalui sensor-sensor, seperti sensor gerak, kamera, smart watch, dan smartphone. Kemudian mengolah data tersebut, dan melalui suatu model klasifikasi yang sudah dilatih, melakukan prediksi kegiatan manusia. Berdasarkan prediksi tersebut, kendali lampu dapat dilakukan. Fig. 3 memperlihatkan proses nya.
Telah ada beberapa penelitian mengenai activity recognition untuk smart lighting. Beberapa penelitian sudah mempunyai kinerja yang baik, walaupun demikian, melibatkan device-device mahal seperti Kinect, Google Glasses, dan smartwatch. Selain itu ada juga penelitian yang menggunakan device-device murah, seperti PIR sensor, DHT-11 sensor, dan ultrasonic sensor. Namun penelitian-penelitian tersebut mempunyai akurasi terbatas. Fig. 4 memperlihatkan device masing-masing kategori. Research gap nya adalah sebuah activity recognition pada smart lighting yang mempunyai akurasi yang baik namun memanfaatkan device-device yang terjangkau.
Untuk mendapatkan sensor yang low price namun akurat, konsep virtual sensor dapat digunakan. Virtual sensor memadukan physical sensor dengan machine learning untuk mengenhance kemampuan nya. Fig. 5 memperlihatkan ilustrasi nya. Selain
Kemudian jika virtual sensor sudah berhasil terimplementasi, concern berikut nya adalah delay, karena system yang diusung adalah system real-time. Dalam cloud system biasa, delay tapat terjadi karena komunikasi antara end device dengan cloud. Agar delay tersebut tidak terjadi, komputasi dapat dipindahkan ke end device. Permasalahan berikutnya pada migrasi cloud ke edge computing adalah resource. Resource pada edge computer biasa nya terbatas. Di sisi lain, intelligence pada model novel untuk smart lighting bisa mempunyai komputasi yang besar. Solusi untuk ini adalah model compression. Research challenge nya adalah menemukan model compression yang novel agar metode novel smart lighting bisa berjalan pada edge computer
Sumber :
Aji Gautama Putrada, Advanced and Creative Networks Research Center, Telkom University Bandung Indonesia
Maman Abdurohman, School of Computing,Telkom UniversityBandung, Indonesia
Doan Perdana, Advanced and Creative Networks Research Center Telkom University Bandung, Indonesia
Hilal Hudan Nuha, School of Computing, Telkom UniversityBandung, Indonesia